SEJARAH DESA SUKORENO
Desa Sukorenon merupakan gabungan dari beberapa kalurahan, yaitu:
Lurahnya yaitu Mangun Sukarto, cariknya Saparjan. Adapun wilayah kalurahan Kalimenur meliputi:
Lurahnya yaitu Sastro Praworo, cariknya Pringgosuwarno. Dengan wilayahnya yaitu:
Lurahnya yaitu Sastrodiharjo, cariknya Harjodiwiryo
Dengan wilayahnya yaitu:
Ketiga kalurahan itu kemudian digabung menjadi satu sejak tanggal 14 Januari 1947. Sesudah digabung menjadi satu yang menjabat sebagai Lurah Sukoreno yaitu:
Setiap desa atau daerah pasti memiliki suatu latar belakang atau budaya khas tersendiri. Kebiasaan-kebiasaan dalam suatu daerah biasanya menjadi tradisiyang harus dilakukan secara rutin, selain itu tiap daerah biasanya juga mempunyai peninggalan-peninggalan dari leluhur yang selalu dijaga kelestariannya. Tradisi dan peninggalan di Desa Sukoreno antara lain:
Tradisi Baritan dilakukan di Bulak Kayangan, yaitu hamparan sawah seluas kira-kira 200 hektar yang letaknya dibatasi oleh:
Di tengah-tengah Bulak Kayangan ini tumbuh pohon klepu, asam dan mangga. Di bawah pepohonan ini terdapat sumur alami/mata air yang tidak pernah kering walaupun musim kemarau. Disebelah utara sumur/mata air terdapat plataran/tanah datar/tegal yang dianggap angker/wingit sehingga hanya ditumbuhi rumput karena tidak ada yang berani menggarapnya sebagai lahan pertanian.
Di atas lahan seluas kira-kira 1.000 m2 ini, tiap bulan Ruwah selalu digunakan untuk kenduri atau biasa disebut BARITAN oleh warga masyarakat sekitar. Acara ini dihadiri oleh sekitar 150 orang yang membawa weton/tradisi uborampe kenduri yang dilaksanakan pukul 14.00-16.00 WIB. Acara ini dipimpin oleh Bapak Kaum Rois, dimulai dengan membaca tahlil dan dilanjutkan dengan berdo’a kepada Allah SWT memohon supaya tanaman pertanian bebas dari hama dan penyakit serta dapat panen dengan baik.
Makam ini terletak di dusun Depok, tepatnya di sebelah barat Masjid At-Taqwa. Sejak kapan keberadaan makam tersebut para sesepuh Depok tidak mengetahui secara pasti namun diperkirakan ada sejak abad 19 dan kemungkinan merupakan peninggalan dari kerajaan Majapahit. Peninggalan tersebut berbentuk cungkup yang didalamnya terdapat 3 (tiga) buah kijing yang sudah dimakan rayap. Kijing tersebut adalah milik :
Bangunan keseluruhan berukuran 6x4 m dibatasi dengan batu putih yang tertata rapi, cungkup terbuat dari alang-alang, tiangnya dari kayu berukuran 4x3x2 m dan didepan makam tersebut terdapat sumur/belik.
Sekitar tahun 2002 cungkup tersebut dipugar oleh masyarakat sekitar dengan bergotong-royong. Kijing kayu diganti dengan batu bata karena telah rusak dimakan rayap.